MAKALAH NAJIS DAN HADAST
NAJIS DAN HADAST
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Fiqih Ibadah
Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI/ D) Smt II
Tahun Akademik 2015/2016
Disusun
oleh:
Iman
Rohiman (1415101059)
Dosen
Pengampu:
Drs.
A. Syathori, M.Ag
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
TAHUN
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ibadah
merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya dan dengan ibadah
manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti.
Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam – macam seperti sholat, puasa, haji, jihad,
membaca Al-Qur’an, dan lainnya. Dan setiap ibadah memiliki syarat – syarat
tertentu untuk dapat melakukannya, dan ada pula yang tidak memiliki syarat
mutlak untuk melakukannya. Diantara ibadah yang memiliki syarat – syarat diantaranya
haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya, baligh,
berakal, dan sebagainya. Dan contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat
maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari
segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Najis?
2. Apa
yang dimaksud dengan Hadats?
3. Apa
perbedaan Najis dengan Hadats?
C. Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui pengertian Najis.
2. Untuk
mengetahui pengertian Hadats.
3. Untuk
mengetahui perbedaan Najis dengan Hadats.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Najis
1.
Pengertian Najis
Najis merupakan
lawan dari thaharah yaitu segala sesuatu yang kotor dan menjijikan dalam
pandangan syara’[1]. Najis ialah suatu benda yang kotor dan menjadi
penghalang kesahnya shalat. Shalat tidak akan sah jika tubuh, pakaian, atau
tempat orang yang mengerjakan shalat itu terkena najis, seperti bangkai, tulang
dan rambut bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang[2].
Najis juga dapat diartikan sebagai suatu kotoran yang harus dibersihkan oleh
orang muslim dan mengharuskannya untuk mencuci segala sesuatu yang dikenainnya[3].
Allah SWT, berfirman dalam QS. Al-Muddatstsir (74): 4
“ dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS.
Al-Muddatstsir (74): 4)
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah (2): 222 )
“ Bersuci
(bersih) adalah sebagian iman” ( HR. Imam Muslim)
2. Pembagian Najis
Secara
umum najis dibagi menjadi dua macam, yaitu: najis hukmi dan najis a’ini.
1) Najis
hukmiyah: yaitu najis yang sudah tidak terlihat bendanya, atau najis yang
diyakini adannya, tetapi tidak nyata sifat zatnya, bau, atau warnanya[4].
seperti bekas air kencing yang sudah tidak terlihat, tidak berbau dan tidak
berasa.
2) Najis
‘ainiyah: yaitu najis yang masih tanpak nyata jelas, baik warnanya (masih terlihat
dengan jelas), baunya (masih tercium
pekat), atau rasannya (misal masih pahit)[5].
Najis a’ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
a.
Najis
mukhaffafah
Najis mugaffafah merupakan najis
yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan
belum makan apa-apa selain asih dari
ibunnya.
b. Najis
mughaladhah
Najis mughaladhah ialah najis yang
berat, yaitu najis anjing, babi, dan keturunannya
c. Najis
mutawassitha
Yaitu najis sedang, tidak ringan
juga berat, yaitu najis selain dua najis tersebut diatas, seperti:
1) Bangkai,
baik bangkai binatang haram maupun binatang yang halal tetapi tidak di sembelih
dengan ketentuan syara’, dan kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang.
2) Segala
sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur kecuali mani.
3) Bagian
anggota badan binatang yang terpisah ketika masih hidupnya, kecuali bulunya.
4) Kotoran
binatang, termasuk ikan
5) Darah
dan sebagainya
3.
Macam-Macam
Najis
Najis
terbagi menjadi dua macam: pertama, najis yang berlaku umum pada
laki-laki dan perempuan. kedua, najis yang berlaku khusus bagi
perempuan. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut ini:
a.
Najis yang
berlaku umum bagi laki-laki maupun perempuan
Jenis najis ini terbagi menjadi dua
kategori, yaitu najis yang disepakati status kenajisannya oleh seluruh ulama,
dan najis yang masih diperselisihkan status kenajisannya.
1)
Najis yang
disepakati kenajisannya oleh ulama
a)
Darah
yang mengalir
Darah yang mengalir, yakni darah
yang mengucur deras, misal darah yang mengalir dari hewan yang disembelih,
keculi jika hanya dalam kadar sangat sedikit (misal terciprat), maka darah
cipratan tersebut tergolong najis yang di ma’fu (ditolerir). Mengenai darah
yang tidak mengalir para ulama berfatwa sebagai berikut:
Ibnu mujallaz suatu hari ditanya
mengenai darah yang terdapat di tempat penyembelihan kambing atau darah yang
ada dibagian atas periuk penggodokan. Ia menjawab, “ tidak apa-apa di ma’fu
karena yang dinajiskan adalah darah yang mengalir[6].” Hal ini diperkuat lagi dengan hadits riwayat
daroi Aisyah ra.: ia berkata bahwa: Kami makan daging, sementara darah
menggaris (membekas dalam bentuk garis-garis) diatas periuk.
Menurut Al-Hasan seorang muslim bisa
sholat dalam kondisi luka-luka[7].
Diriwayatkan secara shahih bahwa Umar pernah shalat sementara darah terus
mengucur dari lukannya. Sedangkan Abu Hurairah juga tidak mempermasalahkan satu
tetes atau dua tetes darah yang mengucur sewaktu menunaikan shalat[8].
Berdasaarkan atsar-atsar
diatas, darah kutu (serangga), dan darah
yang keluar akibat jerawat merupakan najis yang dima’fu selagi tidak mengalir.
Abu Mujalaz juga pernah ditanya mengenai nanah yang menempel pada anggota badan
lain atau pakaian. Ia menjawab, tidak apa-apa karena yang disebut kenajisanya
adalah darah, bukan nanah[9].
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, wajib mencuci kain dari nanah beku dan nanah
yang bercampur dengan darah[10].
b) Daging babi
Para ulama menyepakati kenajisan
daging babi, berdasarkan firman Allah SWT sebagai berikut:
“katakanlah:
tidak ku jumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang
diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena
itu najis.” QS. Al-An’am:145
Mengenai bulu babi, menurut pendapat
ulama yang terkuat, dibolehkan untuk diambil benang jahit[11].
c)
Tinja
dan air kencing manusia
Para ahli fiqih sepakat bahwa tinja
dan air kencing manusia termasuk benda najis, selain air kencing dan tinja para
Nabi dan ari kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun kecuali air asih
ibunnya[12].
d) Kotoran dan air kencing hewan yang diharamkan
dagingnya
Para ulama sepakat mengenai kotoran
dan air kencing hewan yang daging nya haram dimakan termasuk barang najis,
merujuk pada hadis narasi ibnu mas’ud ra. ia bercerita bahwa: Nabi SAW, perpi
ke kakus, lalu beliau menyuruhku membawahkan tiga buah butir batu pada beliau.
Aku hanya menemukan dua butir batu saja, dan tidak memperoleh yang ketiga.
Akhirnya aku ambil kotoran hewan, lalu aku menyerahkanya pada beliau. Nabi SAW,
hanya mengambil dua butir batu saja dan melemparkan kotoran tersebut, seraya
berkata, “ sesungguhnya ia najis”[13].
e)
Wadi
Wadi adalah air atau cairan yang
kental dan keruh yang keluar mengiringi kencing[14].
Para ulama bersepakat benda wadi hukumnya najis. Aisyah mengakatakan: “ wadi
yang keluar setelah kencing harus dicuci bersih, baik yang keluar dari
laki-laki maupun perempuan, kemuan ia cukup berwudhu dan tidak perlu mandi
(wajib)”.
f)
Madzi
Madzi adalah air yang berwarna
putih, lembut, dan lengket yang keluar dari kemaluan ketika bercumbu atau
ketika menghayal dan berhasrat melakukan hubungan seksual , dan terkadang
keluarnya tidak terasa. Madzi dapat keluar baik laki-laki maupun perempuan,
namun lebih banyak pada perempuan.
Menurut kesepakatan ulama, hukumnya
najis. Jika terkena badan maka harus
dibasuh, sedangkan jika terkena baju, madzi cukup dipercikan air saja, karena
najis seperni ini sangat sulit dihindari, mengingat madzi sering mengenai
pakaian orang dewasa yang belum nikah. Karennya madzi lebih mendapatkan
prioritas keringanan dari pada air kencing bayi laki-laki, merujuk pada
penuturan “ Suhail bin Hanif: aku
sangat menderita dan lelah oleh madzi, dan harus sering-sering mandi karenanya.
Lalu aku beranikan diri untuk mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah SAW,
beliau bersabda, “ sesungguhnya kau cukup berwudhu saja darinnya. Aku
bertannya, “ wahai Rasulullah, bagaimana kalau mengenai bajuku? Beliau menjawab,
“ kau cukup mengambil air setelapak tangan , lalu percikan nya kebagian bajumu
yang kau lihat terkena madzi.”
g)
Daging
hewan yang haram dimakan dagingnya
Mayoritas para sahabat, tabi'in dan
generasi setelah mereka bersepakat bahwa daging hewan yang haram dimakan adalah
najis, meskipun disembelih menurut syariat, merujuk hadits narasi Maslamah bin
Al-Akwa’, ia bercewrita: Jelang sore hari ditaklukannya Khaibar, para
sahabat menyulut api. Rasulullah SAW, pun bertannya, “ untuk apa api ini? Apa
pula yang kalian panggang diatasnya?” mereka menjawab, “ daging keledai
jinak.” Rasulullah SAW menukas, “
alirkan dulu darahnya dan potong-potonglah!” seorang laki-laki bertannya, “
wahai Rasulullah , haruskah kami mengalirkan darahnya dulu dan mencucinnya?.”
Beliau menjawab. “ audzaka (atau seperti itu) ”.
Hal senada yang diriwayatkan oleh
anas, ia bercerita : “kami mendapat daging keledai waktu perang khibar. Juru
seru Rasulullah SAW, lantas mengumumkan: sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
melarang kalian mengkonsumsi daging keledai negri (bukan yang liar) , sebab ia
kotor dan najis”[15].
Hal ini berlaku atas daging keledai
jinak, dan ini dapat diqiyaskan dengan hewan lain yang tidak boleh dimakan
dagingnya karena sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya.
h) Bangkai
Hewan yang mati tanpa disembelih
secara syar’i hukumnya najis, sebagaimana firman Allah SWT, dalam QS. Al-An’am
(6): 145
“Katakanlah
: tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai
atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.”
(QS. Al-An’am (6): 145).
Tidak termasuk dalam kategori ini
bangkai ikan dan belalang keduannya tidak dianggap najis melainkan tetap suci,
merujuk hadits ibnu umar bahwa sannya Rasulullah SAW bersabda:
“ dihalalkan
untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun bangkai yang dihallkan bagi kita
adalah bangkai ikan dan belalang, sementara darah yang dihalalkan bagi kita
adalah hati dan limpa.”
i)
Bagian
yang terrpisah dari hewan yang masih hidup
Para ulama sepakat bahwa apa yang
terpisah dari anggota tubuh manusia yang hidup tetap suci, sementara sesuatu
yang terpisah dari tubuh hewan yang masih hiduop adalah najis, merujuk hadits
Abu Waqid Al-Laitsi bahwa sanya Nabi
SAW, bersabda:
“Apa-apa yang terpotong dari hewan ternak
yang masih hidup najis hukumnya”.
2)
Najis yang masih
diperselisihkan statusnya
a)
Tahi
dan air kencing hewan yang halal dagingnya
Imam ahmad, muhammad bin hasan , dan
zufar dari kalangan mazhab hanafi, ibnu al-mundzir dan al-isthakhri dari
kalangan mazhab syafi’i berpendapat
bahwa air kencing dari kotoran hewan yang halal dimakan tetap suci merujuk pada
penuturan Annas ra. “ Beberapa orang
dari ukal atau urainah datang ke madinah, lalu mereka sakit perut. Nabi SAW,
kemudian memerintahkan kepada mereka agar membawa unta perahan yang deras air
susunya dan meminum air kencing dan air susunya.” Hal ini dapat diqiyaskan pada
hewan-hewan lainnya yang halal dagingnya”.
Pendapat ini dianut oleh kalangan
ulama mazhab maliki dalam kasus hewan yang makanan pokoknya bukan sesuatu yang
najis. Jika tidak, (hewan tersebut
memakan kotoran) maka air kencing dan kotorannya najis sebagaimana hewan yang
haram dimakan dagingnya. Mengenai hewan yang memakan kotoran, ia biasa disebut
sebagai binatang jallalah. Binatang tersebut tidak dapat dimakan, diminum dan
digunakan sebagai kendaraan, sebagai hadits yang diriwayatkan oleh ibnu abbas
berikut ini:
“telah
melarang Rasulullah SAW, meminum susu jalalah” (HR. Imam ibnu bajah dan
tirmidzi)
Dan pada sebuah riwayat:
“Nabi
melarang mengendarai jallalah” (HR. Abu Daud)
Dan hadits yang diterima dari umar
bin syu’aib dari ayah dan seterusnya dari kakeknya ra. berkata:
“ Rasulullah
SAW, melarang memakan daging keledai piaraan, begitupun jallalah, baik
mengendarai atau memakan dagingnya” (HR. Imam Nasai dan Abu Dawud).
Adapun yang dimaksud dengan binatang
jallalah adalah binatang-binatang yang memakan kotoran, baik itu binatang
berupa unta, sapi, kambing, ayam dan
lainnya sampai baunnya berubah. Akan tetapi jika hewan jallalah dikurung dan
terpisah dari kotoran-kotoran dalam beberapa waktu dan kembali memakan-makanan
yang baik, dan dagingnya jadi baik pula. Sehingga nama jallalah hilang dan
kembali menjadi hewan yang halal[16].
Sedangkan Abu hanifah, abu yusuf,
dan kalangan ulama mazhab syafi’i berpendapat bahwa kotoran dan air kencing
semua hewan adalah najis, merujuk hadits narasi ibnu abbas ra. bahwasannya Nabi SAW, melewati dua kuburan ,
lalu beliau bersabda. “sesungguhnya kedua penhuni kuburan ini telah telah
disiksa, dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah satunya disiksa
karena tidak bersuci secara optimal dari air kencing, sementara yang lain
disiksa karena ia suka berjalan kemana-mana dengan provokasi antar manusia.”
Dalam hadits ini Rasulullah SAW,
menyebut air kencing secara umum, dan tidak mengkhususkannya hanya pada air
kencing manusia. Sehingga air kencing dan kotoran hewan yang halal dagingnya
pun termasuk kedalam cakupan hadits ini.
Mereka mengqiyaskan kenajisan air kencing kotoran hewan yang halal
dagingnya dengan air kencing dan tinja manusia dengan menggunakan mekanisme
qiyas aulawi.
Masing-masing kelompok saling mengemukakan argumentasinya. Namun
pendapat yang zhahir adalah pendapat yang menyatakan bahwa air kencing dan
kotoran hewan yang halal dagingnya dimakan itu suci, berdasarkan prinsip dasar
kebebasan (al-bara’ah al-ashliyyah) dan
berdasarkan pada dalil istishhab, bahwa najis adalah hukum syar’i yang dinukil
dari hukum yang menjadi konsekuensi hukum asal dan kebebasan. Pendapat ini
diperkuat karena dari kalangan yang menajiskannya sendiri tidak memiliki dalil yang mendukung selain dari hadits ibnu abbas di atas. Juga
kata air kencing yang termuat dalam hadits tersebut masih bersifat umum juga
spekulatif, dan indikator yang masih spekulatif (zhanni ad-dalalah) tidak dapat
dijadikan dasar kuat un tuk menentang dalil-dalil qat’i (definitif).
b) Air liur
anjing
Mayoritas ahli fiqih berpendapat
bahwa air liur anjing adalah najis, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah , bahwa Nabi SAW, bersabda: “Kesucian wadah salah seorang
kalian jika terjilat anjing didalamnya adalah dengan mencucinya sebanyak tuju
kali diawali dengan tanah”.
Menurut pendapat yang mashur, imam
maliki mengatakan anjing dan air liurnya suci. Ia berpegang pada firman Allah
SWT: “Maka makanlah dari apa yang
ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu” (QS.
Al-Maidah (5): 4)
Dari pendapat diatas pendapat yang
unggul ialah pendapat mayoritas ahli fiqih yang menyatakan bahwa anjing beserta
air liurnya pun najis. Dalam membersikan
najis ini diisyaratkan harus dicuci sebannyak tuju kali penyucian dan salah
satu harus dengan tanah. Menurut imam ahmad, sabun dan yang lainnya dapat menggantikan
posisi tanah. Ini juga menjadi pendapat imam syafi’i dan di benarkan oleh imam
adz- dzahabi, menurutnya mensucikan
najis dengan sesuatu yang beku atau keras tidak hannya dikhususkan engan
menggunakan tanah saja, seperti istinja dan menyamak kulit. Namun ada juga yang
mengatakan tidak ada sesuatu yang dapat menggantikan tanah, karena nash yang
ada menyatakan demikian sehingga harus dengan tanahy bukan dengan yang lain,
sebagaimana halnya tayamum.
c)
Sperma
atau mani
Menurut kalangan mazhab hanafi, mazhab
maliki, Ats-tsauri dan ahmad dalam salah satu versih riwayat adalah najis,
merujuk pada penuturan Aisyah ra. “ Rasulullah SAW, pernah mencuci bekas
kami (sperma) kemudian pergi sholat
dengan baju tersebut sementara bekas yang dicuci masih dapat aku lihat”[17].
(muttafaq alaihi)
Sementara imam syafi’i, dawud Azh
zhahiri dan yang lainnya berpendapat bahwa sperma adalah suci. Dan ini
merupakan versi lain pendapat ahmad yang paling benar. Mereka juga berlandasa
pada penuturan Aisyah ra. “ aku benar-benar pernah menggosok-gosok sperma
dari baju Rasulullah SAW, kemudian beliau pergi menjalankan shalat dengan baju
tersebut”[18].
Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa air
mani atau sperma adalah suci.
Adapun tindakan Aisyah ra, yang
terkadang membasuh baju Rasulullah SAW, yang terkena sperma dan terkadang
menggosok-gosoknya hal ini tidak semata-mata menunjukan sperma itu najis. Sebab
ketika pakaian terkena luda, ingus maupun kotoran yang lain, pakaian tersebut
pasti dicuci, padahal tidak ada seorangpun yang menggatakan semua itu najis.
Hal ini telah disampaikan oleh lebih dari seorang sahabat. Misal sa’ad bin abu
waqash, ibnu abbas dan lainnya. diriwayatkan dari ibnu abbas ra. berkata: “ Nabi
SAW, pernah ditannya mengenai air sperma yang mngenai baju,. Beliau menjawab “
sesungguhnya ia sama seperti lendir luda, dan sesungguhnya kau cukup
menggosoknya jika memang sudah kering dan mencucinya jika masih basah”.
Adapun yang disunnahkan adalah
mencucinya suwaktu masih basah dan menggosoknya ketika sudah kering. Sesuai
dengan apa yang diceritakan oleh Aisyah.
d) Tulang bangkai
Menurut imam malik, Asy- syafi’i
dalam qaul (pendapat) yang mashur, dan ahmad, tulang-tulang bangkai hewan,
tanduk, dan ggi hewan yang telah menjadi bangkai hukumnya najis, baik bangkai
hewan yang halal maupun hewan yang haram.
Sedangkan menurut kalangan ulama
mazhab hanafi dan Ats-tsauri hal tersebut suci, merujuk pada penuturan ibnu
abbas ra. “ sesungguhnya yang diharamkan dari bangkai adalah apa yang dapat
dimakan darinya, yaitu dagingnya. Sedangkan kulit, gigi, tulang, bulu dan
wolnya tetap halal.”
Diriwayatkan
dari ibnu abbas ra. bahwa sanya: “ Nabi SAW, bersabda mengenai domba: “mengapa
kalian tidak ambil kulitnya, lalu kalian samak, dan manfaatkannya? Para sahabat
menjawab, “ ia kan najis.” Nabi menukas,” sesungguhnya yang diharamkan hanya
memakannya”.
Menuut ibnu abbas, sesungguhnya yang
diharamkan hanya apa yang bisa dimakan darinya, yakni dagingnya, sementara
kulit, gigi, tulang, rambut, dan wol, hukumnya halal (suci).
Mengenai air susu bangkai adalah suci, menurut pendapat yang
unggul di antara beberapa pendapat
ulama, karena para sahabat ketika berhasil menaklukan negara iraq, mereka
memakan keju orang-orang Majusi yang bekerja sebagai pemerah susu, padahal
sembelihan mereka dianggap seerti bangkai.
e) Muntahan
Muntahan hukumnya najis secara
mutlak karena merupakan makanan yang berubah menjadi busuk dan berbau didalam
perut, baik kemuntahan manusia maupun lainnya, baik muntahan tersebut keluar
dalam kondisi berbeda dengan apa yang dimakan maupun masih utuh. Ini merupakan
pendapat tiga mazhab, sedangkan menurut imam malik dan sebagian kalangan ulama
mazhab syafi’i muntahan yang tidak berubah (masih utuh) tetap suci, misal qals
(makan/ minuman yang keluar dari perut dalam keadaan utuh)
f) Minuman keras
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
Khamar ialah najis. Pendapatnya merujuk pada Firman Allah SWT: “ sesungguhnya khamar, berjudi, berhala,
mengadu nasib dengan panah, adalah barang najis...” (QS.Al-Maidah (5):90)
g)
Air
liur orang yang sedang tidur
Menurut ulama Hanafiyah berpendapat
najis, namun tiga mazhab lainnya mengatakan suci. Akan tetapi imam maliki dan
imam syafi’i berpendapat jika air liur tersebut keluar dari lambung maka tetap
najis, karena sama dengan muntah[19].
b. Najis
yang berlaku khusus untuk wanita
1)
Darah
haid
Darah haid adalah darah yang keluar
dari kemaluan perempuan ketika dalam kondisi sehat, bukan karena penyakit
maupun akibat kehamilan. Dari asma binti Abu bakar rra. Rasulullah SAW,
bersabda mengenai darah haid ” engkau kikis, engkau gosok dengan air lalu
siramlah, kemudian engkau boleh shalat dengan pakaian itu[20]”
(mutaffaq alai) adapun mengenai bekas
najis itu masih membekas setelah di sucikan dengan air dan digosok maka
tidak apa-apa.
2) Darah Nifas
Nifas menurut bahasa adalah melahirkan,
sedang menurut istilah ialah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada saat
sesudah melahirkan atau belum melebihi 15 hari setelahnya, baik melahirkan
secara normal maupun prematur[21].
3)
Darah
wiladah
wiladah adalah darah yang keluar
dari kemaluan perempuan bersamaan dengan melahirkan.
4.
Cara
Mensucikan Najis
a. Apabila
najis mugaffafah: sesuatu atau benda yang terkena najis ini, cukup dipercikkan
dengan air, meskipun tidak sampai mengalir
b. Apabiala
najis mugalladha: Benda yang terkena najis, baik berupa darah, kotoran atau
jilatan anjing, maka mensucikannya dengan cara najis harus dihilangkan terlebih
dahulu, kemudian dicuci tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan
debu.
c. Apabila
najis mutawashitha: jika najis berupa kotoran, maka harus dibuang terlebih
dahulu, kemudian disucikan dengan air hingga hilang warnannya, baunya,
rasannya, dan tidak berbahaya, umpama warna atau sifat-sifatnya sukar
dihilangkan. Atau dengan cara mengalirkan air terhadap benda yang terkena najis sampai hilang zat najisnya dan unsur
sifatnya (warna, bau, rasa)
Catatan
Ketika mensucikan barang yang
terkena najis, baik najis mugaffafah, mugalladhah atau mutawasitha, apabila
airnya sedikit, maka air harus datang/ dituangkan kepada barang yang terkena
najis, dan tidak boleh dan tidak suci apabila terbalik (barang yang terkena
najis datang kepada air)[22].
Karena ketika air datang dan mendorong berarti ia mempunyai kekuatan untuk
menghilangkan. Tetapi apabiala najis yang datang kepada air , maka tidak dapat
suci bahkan airnya pun menjadi najis, karena tidak mempunyai kekuatan untuk
menghilangkan najis.
Najis
yang di Ma’fu
Diantara beberapa najis, ada yang di
ma’fu/ tidak diwajibkan untuk mensucikannya, seperti bangkai hewan yang tidak
mengalir darahnya, darah/ nanah yang sedikit (hanya satu tetes), debu yang
bercampur dengan kotoran binatang tetapi yang tidak jelas bahwa itu kotoran
binatang, sedikit dari darah orang lain asal tidak darah anjinh atau babi dan
sebagainya[23].
B. Hadats
1. Pengertian hadats
Secara
bahasa Al hadats ( الحدث ) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang baru ( الحدیث ), maksudnya sesuatu yang sebelumnya tidak
ada kemudian menjadi ada[24].
Sedangkan secara istilah Hadats adalah keadaan tidak suci pada
seseorang yang telah baligh dan berakal sehat, timbul karena datangnya sesuatu
yang ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai yang membatalkan keadaan suci. Hadats
dapat juga diartikan senbagai suatu keadaan badan yang tidak suci atau kotor
dan dapat dihilangkan dengn cara-cara tertentu seperti wudhu, tayamum, dan
mandi wajib.
2. Macam-macam hadas
a. Hadats
kecil
Suatu keadaan seseorang yang tidak
suci yang di sebabkan oleh sesuatu dan bersucinya bisa menggunakan dengan
berwudhu atau tayamum.
b. Hadats
besar
Keadaan seseorang yang tidak suci
yang di sebabkan oleh sesuatu dan bersucinya harus dengan mandi wajib, dan
tayamum (jika tidak ada air).
3.
Hal-hal
yang menyebabkan Hadats kecil
a. Keluarnya
sesuatu dari lubang kubul dan dubul
b. Hilangnya
akal karena mabuk, gila, atau tidur
c. Bersentuhan
antara kulit laki-laki dan perempuan
d. Menyentu
kemaluan tanpa penghalang.
4.
Hal-hal
yang menyebabkan hadats besar
a. Besetubuh
b. Keluarnya
mani
c. Meninggal
dunia
d. Haid
e. Nifas
f. Wiladah
- Larangan-larangan
Orang yang berhadats
a.
Hadats kecil
1)
Sholat
2)
Thowaf
3)
Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an.
Sebagian ulama ada yang membolehkan menyentuh dan membawa mushaf bagi orang
yang berhadats kecil.
b.
Hadats besar
1)
Sholat
2)
Thowaf
3)
Membaca Al-Qur’an
Dari Ibnu
Umar ra. berkata : Seorang yang junub dan wanita yang haidh tidak diperbolehkan
membaca Al-Qur’an. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
4)
Menyentuh dan membawa mushaf
Al-Qur’an. Dari Abdullah bin Abu Bakar : bahwa dalam surat yang ditulis oleh
Rasulullah SAW untuk Amar bin Hazem, terdapat keterangan bahwa tidak boleh
menyentuh Al-Qur’an kecuali olrang yang suci. (Diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam keadaan mursal; Nasai dan Ibnu Hibban dengan maushul tapi ma’lul).
5)
Berpuasa
6)
Beri’tikaf dan dan berhenti di dalam
masjid. Dari Aisyah ra. berkata : Hadapkan rumah-rumah ini ke lain masjid,
sebab sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk ditempati orang yang
haidh dan junub. (HR. Annasai)
7)
Berhubungan sumi istri
(bersenggama). Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda : Barang
siapa yang bersetubuh melalui farji istri yang sedang haidh atau menggauli
istri melewati jalan belakangnya atau mendatangi tukang tenung (untuk minta
diramal lalu percaya) maka sungguh telah kufur/ingkar terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Perbedaan Najis dan
Hadats
|
|
Najis
|
Hadats
|
Berwujud (bentuknya
benda)
|
Hukum/ keadaan
|
Membersihkannya tanpa
niat
|
Harus dengan niat
|
Kotoran dzahir
|
Kotoran bathin
|
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Najis merupakan lawan dari thaharah
yaitu segala sesuatu yang kotor dan menjijikan dalam pandangan syara’. Najis
juga diartikan sebagai suatu benda yang
kotor dan menjadi penghalang kesahnya shalat. Shalat tidak akan sah jika tubuh,
pakaian, atau tempat orang yang mengerjakan shalat itu terkena najis, seperti
bangkai, tulang dan rambut bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang.
Sedangkan pengertian hadats sendiri
secara bahasa Al hadats ( الحدث ) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang
baru ( الحدیث ), maksudnya sesuatu
yang sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada. Atau secara istilah Hadats
adalah keadaan tidak suci pada seseorang yang telah baligh dan berakal sehat,
timbul karena datangnya sesuatu yang ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai yang
membatalkan keadaan suci. Hadats juga dapat diartikan senbagai suatu keadaan
badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengn cara-cara tertentu
seperti wudhu, tayamum, dan mandi wajib.
Adapun mengenai perbedaan antara
keduannya yaitu jika najis memiliki wujud suatu bendanya, sedangkan hadast adalah
status hukum seseorang karena melakukan suatu perbuatan atau mengalami suatu
kejadian.
Dilihat dari cara mensuciakannya jika najis mensucikannya tidak harus denan
niat sedangkan bersuci dari hadats harus disertai dengan niat. Najis digambarkan sebagai kotoran dzahir atau
tampak, sedangkan hadats berupa kotoran hati yang tidak tampak.
DAFTAR PUSTAKA
Arfan,
abbas. Fiqih Ibadah Praktis. Malang: UIN-MALIKI PRESS.
https://masyhudulyoungforever.wordpress.com/2013/05/26/makalah-hadats/
diunduh 15 Mei 2016.
Masyhad, abu. 1408 .Tuntunan Shalat
Lengkap. Semarang: PT MG. Semarang.
Muhammad azzam, Abdul aziz dk. 2013. Fiqih
Ibadah. Jakarta: Amzah.
Lajnah bahtsul masa-il, dkk. 2003. Sumber
Rujukan Permasalahan Wanita: LBM PPL
2002 M.
Masih banyak kesalahan yang perlu dikoreksi supaya tidak menyesatkan ummat.
BalasHapusMau tahu, cek jawabannya:
https://youtu.be/g4dUy1Ca0l8