MAKALAH NAJIS DAN HADAST


NAJIS DAN HADAST

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Fiqih Ibadah
Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI/ D) Smt II
Tahun Akademik 2015/2016




Disusun oleh:
Iman Rohiman     (1415101059)

Dosen Pengampu:
Drs. A. Syathori, M.Ag

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam – macam seperti sholat,  puasa,  haji,  jihad, membaca Al-Qur’an, dan lainnya. Dan setiap ibadah memiliki syarat – syarat tertentu untuk dapat melakukannya, dan ada pula yang tidak memiliki syarat mutlak untuk melakukannya. Diantara ibadah yang memiliki syarat – syarat diantaranya haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya, baligh, berakal, dan sebagainya. Dan contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
            Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Najis?
2.      Apa yang dimaksud dengan Hadats?
3.      Apa perbedaan Najis dengan Hadats?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian Najis.
2.      Untuk mengetahui pengertian Hadats.
3.      Untuk mengetahui perbedaan Najis dengan Hadats.






BAB II
PEMBAHASAN


A.           Najis
1.        Pengertian  Najis
            Najis merupakan lawan dari thaharah yaitu segala sesuatu yang kotor dan menjijikan dalam pandangan syara’[1]. Najis ialah suatu benda yang kotor dan menjadi penghalang kesahnya shalat. Shalat tidak akan sah jika tubuh, pakaian, atau tempat orang yang mengerjakan shalat itu terkena najis, seperti bangkai, tulang dan rambut bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang[2]. Najis juga dapat diartikan sebagai suatu kotoran yang harus dibersihkan oleh orang muslim dan mengharuskannya untuk mencuci segala sesuatu yang dikenainnya[3]. Allah SWT, berfirman dalam QS. Al-Muddatstsir (74): 4
dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir (74): 4)

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah (2): 222 )

Bersuci (bersih) adalah sebagian iman” ( HR. Imam Muslim)

2.    Pembagian Najis
     Secara umum najis dibagi menjadi dua macam, yaitu: najis hukmi dan najis a’ini.
1)   Najis hukmiyah: yaitu najis yang sudah tidak terlihat bendanya, atau najis yang diyakini adannya, tetapi tidak nyata sifat zatnya, bau, atau warnanya[4]. seperti bekas air kencing yang sudah tidak terlihat, tidak berbau dan tidak berasa.
2)   Najis ‘ainiyah: yaitu najis yang masih tanpak nyata jelas, baik warnanya (masih terlihat dengan jelas),  baunya (masih tercium pekat), atau rasannya (misal masih pahit)[5]. Najis a’ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
a.                       Najis mukhaffafah
            Najis mugaffafah merupakan najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum makan apa-apa selain  asih dari ibunnya.
b.    Najis mughaladhah
            Najis mughaladhah ialah najis yang berat, yaitu najis anjing, babi, dan keturunannya
c.    Najis mutawassitha
            Yaitu najis sedang, tidak ringan juga berat, yaitu najis selain dua najis tersebut diatas, seperti:
1)   Bangkai, baik bangkai binatang haram maupun binatang yang halal tetapi tidak di sembelih dengan ketentuan syara’, dan kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang.
2)   Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur kecuali mani.
3)   Bagian anggota badan binatang yang terpisah ketika masih hidupnya, kecuali bulunya.
4)   Kotoran binatang, termasuk ikan
5)   Darah dan sebagainya
           
3.      Macam-Macam Najis
Najis terbagi menjadi dua macam: pertama, najis yang berlaku umum pada laki-laki dan perempuan. kedua, najis yang berlaku khusus bagi perempuan. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut ini:
a.         Najis yang berlaku umum bagi laki-laki maupun perempuan
            Jenis najis ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu najis yang disepakati status kenajisannya oleh seluruh ulama, dan najis yang masih diperselisihkan status kenajisannya.
1)             Najis yang disepakati kenajisannya oleh ulama
a)        Darah yang mengalir
            Darah yang mengalir, yakni darah yang mengucur deras, misal darah yang mengalir dari hewan yang disembelih, keculi jika hanya dalam kadar sangat sedikit (misal terciprat), maka darah cipratan tersebut tergolong najis yang di ma’fu (ditolerir). Mengenai darah yang tidak mengalir para ulama berfatwa sebagai berikut:
            Ibnu mujallaz suatu hari ditanya mengenai darah yang terdapat di tempat penyembelihan kambing atau darah yang ada dibagian atas periuk penggodokan. Ia menjawab, “ tidak apa-apa di ma’fu karena yang dinajiskan adalah darah yang mengalir[6].”  Hal ini diperkuat lagi dengan hadits riwayat daroi Aisyah ra.: ia berkata bahwa: Kami makan daging, sementara darah menggaris (membekas dalam bentuk garis-garis) diatas periuk.
            Menurut Al-Hasan seorang muslim bisa sholat dalam kondisi luka-luka[7]. Diriwayatkan secara shahih bahwa Umar pernah shalat sementara darah terus mengucur dari lukannya. Sedangkan Abu Hurairah juga tidak mempermasalahkan satu tetes atau dua tetes darah yang mengucur sewaktu menunaikan shalat[8].
            Berdasaarkan atsar-atsar diatas,  darah kutu (serangga), dan darah yang keluar akibat jerawat merupakan najis yang dima’fu selagi tidak mengalir. Abu Mujalaz juga pernah ditanya mengenai nanah yang menempel pada anggota badan lain atau pakaian. Ia menjawab, tidak apa-apa karena yang disebut kenajisanya adalah darah, bukan nanah[9]. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, wajib mencuci kain dari nanah beku dan nanah yang bercampur dengan darah[10].
b)       Daging babi
            Para ulama menyepakati kenajisan daging babi, berdasarkan firman Allah SWT sebagai berikut:
katakanlah: tidak ku jumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu najis.” QS. Al-An’am:145
            Mengenai bulu babi, menurut pendapat ulama yang terkuat, dibolehkan untuk diambil benang jahit[11].
c)        Tinja dan air kencing manusia
            Para ahli fiqih sepakat bahwa tinja dan air kencing manusia termasuk benda najis, selain air kencing dan tinja para Nabi dan ari kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun kecuali air asih ibunnya[12].
d)       Kotoran dan air kencing hewan yang diharamkan dagingnya
            Para ulama sepakat mengenai kotoran dan air kencing hewan yang daging nya haram dimakan termasuk barang najis, merujuk pada hadis narasi ibnu mas’ud ra. ia bercerita bahwa: Nabi SAW, perpi ke kakus, lalu beliau menyuruhku membawahkan tiga buah butir batu pada beliau. Aku hanya menemukan dua butir batu saja, dan tidak memperoleh yang ketiga. Akhirnya aku ambil kotoran hewan, lalu aku menyerahkanya pada beliau. Nabi SAW, hanya mengambil dua butir batu saja dan melemparkan kotoran tersebut, seraya berkata, “ sesungguhnya ia najis”[13].
e)        Wadi
            Wadi adalah air atau cairan yang kental dan keruh yang keluar mengiringi kencing[14]. Para ulama bersepakat benda wadi hukumnya najis. Aisyah mengakatakan: “ wadi yang keluar setelah kencing harus dicuci bersih, baik yang keluar dari laki-laki maupun perempuan, kemuan ia cukup berwudhu dan tidak perlu mandi (wajib)”.

f)         Madzi
            Madzi adalah air yang berwarna putih, lembut, dan lengket yang keluar dari kemaluan ketika bercumbu atau ketika menghayal dan berhasrat melakukan hubungan seksual , dan terkadang keluarnya tidak terasa. Madzi dapat keluar baik laki-laki maupun perempuan, namun lebih banyak pada perempuan.
            Menurut kesepakatan ulama, hukumnya najis. Jika terkena badan  maka harus dibasuh, sedangkan jika terkena baju, madzi cukup dipercikan air saja, karena najis seperni ini sangat sulit dihindari, mengingat madzi sering mengenai pakaian orang dewasa yang belum nikah. Karennya madzi lebih mendapatkan prioritas keringanan dari pada air kencing bayi laki-laki, merujuk pada penuturan  “ Suhail bin Hanif: aku sangat menderita dan lelah oleh madzi, dan harus sering-sering mandi karenanya. Lalu aku beranikan diri untuk mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, “ sesungguhnya kau cukup berwudhu saja darinnya. Aku bertannya, “ wahai Rasulullah, bagaimana kalau mengenai bajuku? Beliau menjawab, “ kau cukup mengambil air setelapak tangan , lalu percikan nya kebagian bajumu yang kau lihat terkena madzi.”
g)        Daging hewan yang haram dimakan dagingnya
            Mayoritas para sahabat, tabi'in dan generasi setelah mereka bersepakat bahwa daging hewan yang haram dimakan adalah najis, meskipun disembelih menurut syariat, merujuk hadits narasi Maslamah bin Al-Akwa’, ia bercewrita: Jelang sore hari ditaklukannya Khaibar, para sahabat menyulut api. Rasulullah SAW, pun bertannya, “ untuk apa api ini? Apa pula yang kalian panggang diatasnya?” mereka menjawab, “ daging keledai jinak.”  Rasulullah SAW menukas, “ alirkan dulu darahnya dan potong-potonglah!” seorang laki-laki bertannya, “ wahai Rasulullah , haruskah kami mengalirkan darahnya dulu dan mencucinnya?.” Beliau menjawab. “ audzaka (atau seperti itu) ”.
            Hal senada yang diriwayatkan oleh anas, ia bercerita : “kami mendapat daging keledai waktu perang khibar. Juru seru Rasulullah SAW, lantas mengumumkan: sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai negri (bukan yang liar) , sebab ia kotor dan najis”[15].
            Hal ini berlaku atas daging keledai jinak, dan ini dapat diqiyaskan dengan hewan lain yang tidak boleh dimakan dagingnya karena sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya.
h)       Bangkai
            Hewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i hukumnya najis, sebagaimana firman Allah SWT, dalam QS. Al-An’am (6): 145
“Katakanlah : tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al-An’am (6): 145).
            Tidak termasuk dalam kategori ini bangkai ikan dan belalang keduannya tidak dianggap najis melainkan tetap suci, merujuk hadits ibnu umar bahwa sannya Rasulullah SAW bersabda:
dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun bangkai yang dihallkan bagi kita adalah bangkai ikan dan belalang, sementara darah yang dihalalkan bagi kita adalah hati dan limpa.”
i)          Bagian yang terrpisah dari hewan yang masih hidup
            Para ulama sepakat bahwa apa yang terpisah dari anggota tubuh manusia yang hidup tetap suci, sementara sesuatu yang terpisah dari tubuh hewan yang masih hiduop adalah najis, merujuk hadits Abu Waqid Al-Laitsi  bahwa sanya Nabi SAW, bersabda:
 “Apa-apa yang terpotong dari hewan ternak yang masih hidup najis hukumnya”.

2)      Najis yang masih diperselisihkan statusnya
a)                         Tahi dan air kencing hewan yang halal dagingnya
            Imam ahmad, muhammad bin hasan , dan zufar dari kalangan mazhab hanafi, ibnu al-mundzir dan al-isthakhri dari kalangan mazhab syafi’i  berpendapat bahwa air kencing dari kotoran hewan yang halal dimakan tetap suci merujuk pada penuturan Annas  ra. “ Beberapa orang dari ukal atau urainah datang ke madinah, lalu mereka sakit perut. Nabi SAW, kemudian memerintahkan kepada mereka agar membawa unta perahan yang deras air susunya dan meminum air kencing dan air susunya.” Hal ini dapat diqiyaskan pada hewan-hewan lainnya  yang halal dagingnya”.
            Pendapat ini dianut oleh kalangan ulama mazhab maliki dalam kasus hewan yang makanan pokoknya bukan sesuatu yang najis. Jika tidak,  (hewan tersebut memakan kotoran) maka air kencing dan kotorannya najis sebagaimana hewan yang haram dimakan dagingnya. Mengenai hewan yang memakan kotoran, ia biasa disebut sebagai binatang jallalah. Binatang  tersebut tidak dapat dimakan, diminum dan digunakan sebagai kendaraan, sebagai hadits yang diriwayatkan oleh ibnu abbas berikut ini:
telah melarang Rasulullah SAW, meminum susu jalalah” (HR. Imam ibnu bajah dan tirmidzi)
            Dan pada sebuah riwayat:
Nabi melarang mengendarai jallalah” (HR. Abu Daud)
            Dan hadits yang diterima dari umar bin syu’aib dari ayah dan seterusnya dari kakeknya ra. berkata:
Rasulullah SAW, melarang memakan daging keledai piaraan, begitupun jallalah, baik mengendarai atau memakan dagingnya” (HR. Imam Nasai dan Abu Dawud).
            Adapun yang dimaksud dengan binatang jallalah adalah binatang-binatang yang memakan kotoran, baik itu binatang berupa unta, sapi, kambing, ayam  dan lainnya sampai baunnya berubah. Akan tetapi jika hewan jallalah dikurung dan terpisah dari kotoran-kotoran dalam beberapa waktu dan kembali memakan-makanan yang baik, dan dagingnya jadi baik pula. Sehingga nama jallalah hilang dan kembali menjadi hewan yang halal[16].
            Sedangkan Abu hanifah, abu yusuf, dan kalangan ulama mazhab syafi’i berpendapat bahwa kotoran dan air kencing semua hewan adalah najis, merujuk hadits narasi ibnu abbas ra.  bahwasannya Nabi SAW, melewati dua kuburan , lalu beliau bersabda. “sesungguhnya kedua penhuni kuburan ini telah telah disiksa, dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah satunya disiksa karena tidak bersuci secara optimal dari air kencing, sementara yang lain disiksa karena ia suka berjalan kemana-mana dengan provokasi antar manusia.”
            Dalam hadits ini Rasulullah SAW, menyebut air kencing secara umum, dan tidak mengkhususkannya hanya pada air kencing manusia. Sehingga air kencing dan kotoran hewan yang halal dagingnya pun termasuk kedalam cakupan hadits ini.   Mereka mengqiyaskan kenajisan air kencing kotoran hewan yang halal dagingnya dengan air kencing dan tinja manusia dengan menggunakan mekanisme qiyas aulawi.
            Masing-masing kelompok  saling mengemukakan argumentasinya. Namun pendapat yang zhahir adalah pendapat yang menyatakan bahwa air kencing dan kotoran hewan yang halal dagingnya dimakan itu suci, berdasarkan prinsip dasar kebebasan (al-bara’ah  al-ashliyyah) dan berdasarkan pada dalil istishhab, bahwa najis adalah hukum syar’i yang dinukil dari hukum yang menjadi konsekuensi hukum asal dan kebebasan. Pendapat ini diperkuat karena dari kalangan yang menajiskannya sendiri  tidak memiliki dalil yang mendukung  selain dari hadits ibnu abbas di atas. Juga kata air kencing yang termuat dalam hadits tersebut masih bersifat umum juga spekulatif, dan indikator yang masih spekulatif (zhanni ad-dalalah) tidak dapat dijadikan dasar kuat un tuk menentang dalil-dalil qat’i (definitif).
b)        Air liur anjing
            Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa air liur anjing adalah najis, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah , bahwa Nabi SAW, bersabda: “Kesucian wadah salah seorang kalian jika terjilat anjing didalamnya adalah dengan mencucinya sebanyak tuju kali diawali dengan tanah”.
            Menurut pendapat yang mashur, imam maliki mengatakan anjing dan air liurnya suci. Ia berpegang pada firman Allah SWT:  “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu” (QS. Al-Maidah (5): 4)
            Dari pendapat diatas pendapat yang unggul ialah pendapat mayoritas ahli fiqih yang menyatakan bahwa anjing beserta air liurnya  pun najis. Dalam membersikan najis ini diisyaratkan harus dicuci sebannyak tuju kali penyucian dan salah satu harus dengan tanah. Menurut imam ahmad, sabun dan yang lainnya dapat menggantikan posisi tanah. Ini juga menjadi pendapat imam syafi’i dan di benarkan oleh imam adz- dzahabi,  menurutnya mensucikan najis dengan sesuatu yang beku atau keras tidak hannya dikhususkan engan menggunakan tanah saja, seperti istinja dan menyamak kulit. Namun ada juga yang mengatakan tidak ada sesuatu yang dapat menggantikan tanah, karena nash yang ada menyatakan demikian sehingga harus dengan tanahy bukan dengan yang lain, sebagaimana halnya tayamum.
c)        Sperma atau mani
            Menurut kalangan mazhab hanafi, mazhab maliki, Ats-tsauri dan ahmad dalam salah satu versih riwayat adalah najis, merujuk pada penuturan Aisyah ra. “ Rasulullah SAW, pernah mencuci bekas kami (sperma) kemudian pergi sholat  dengan baju tersebut sementara bekas yang dicuci masih dapat aku lihat[17]. (muttafaq alaihi)
            Sementara imam syafi’i, dawud Azh zhahiri dan yang lainnya berpendapat bahwa sperma adalah suci. Dan ini merupakan versi lain pendapat ahmad yang paling benar. Mereka juga berlandasa pada penuturan Aisyah ra. “ aku benar-benar pernah menggosok-gosok sperma dari baju Rasulullah SAW, kemudian beliau pergi menjalankan shalat dengan baju tersebut”[18]. Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa air mani atau sperma adalah suci.
            Adapun tindakan Aisyah ra, yang terkadang membasuh baju Rasulullah SAW, yang terkena sperma dan terkadang menggosok-gosoknya hal ini tidak semata-mata menunjukan sperma itu najis. Sebab ketika pakaian terkena luda, ingus maupun kotoran yang lain, pakaian tersebut pasti dicuci, padahal tidak ada seorangpun yang menggatakan semua itu najis. Hal ini telah disampaikan oleh lebih dari seorang sahabat. Misal sa’ad bin abu waqash, ibnu abbas dan lainnya. diriwayatkan dari ibnu abbas ra. berkata: “ Nabi SAW, pernah ditannya mengenai air sperma yang mngenai baju,. Beliau menjawab “ sesungguhnya ia sama seperti lendir luda, dan sesungguhnya kau cukup menggosoknya jika memang sudah kering dan mencucinya jika masih basah”.
            Adapun yang disunnahkan adalah mencucinya suwaktu masih basah dan menggosoknya ketika sudah kering. Sesuai dengan apa yang diceritakan oleh Aisyah.
d)   Tulang bangkai
            Menurut imam malik, Asy- syafi’i dalam qaul (pendapat) yang mashur, dan ahmad, tulang-tulang bangkai hewan, tanduk, dan ggi hewan yang telah menjadi bangkai hukumnya najis, baik bangkai hewan yang halal maupun hewan yang haram.
            Sedangkan menurut kalangan ulama mazhab hanafi dan Ats-tsauri hal tersebut suci, merujuk pada penuturan ibnu abbas ra. “ sesungguhnya yang diharamkan dari bangkai adalah apa yang dapat dimakan darinya, yaitu dagingnya. Sedangkan kulit, gigi, tulang, bulu dan wolnya tetap halal.”
Diriwayatkan dari ibnu abbas ra. bahwa sanya: “ Nabi SAW, bersabda mengenai domba: “mengapa kalian tidak ambil kulitnya, lalu kalian samak, dan manfaatkannya? Para sahabat menjawab, “ ia kan najis.” Nabi menukas,” sesungguhnya yang diharamkan hanya memakannya”.
            Menuut ibnu abbas, sesungguhnya yang diharamkan hanya apa yang bisa dimakan darinya, yakni dagingnya, sementara kulit, gigi, tulang, rambut, dan wol, hukumnya halal (suci).
            Mengenai air susu bangkai  adalah suci, menurut pendapat yang unggul  di antara beberapa pendapat ulama, karena para sahabat ketika berhasil menaklukan negara iraq, mereka memakan keju orang-orang Majusi yang bekerja sebagai pemerah susu, padahal sembelihan mereka dianggap seerti bangkai.
e)    Muntahan
            Muntahan hukumnya najis secara mutlak karena merupakan makanan yang berubah menjadi busuk dan berbau didalam perut, baik kemuntahan manusia maupun lainnya, baik muntahan tersebut keluar dalam kondisi berbeda dengan apa yang dimakan maupun masih utuh. Ini merupakan pendapat tiga mazhab, sedangkan menurut imam malik dan sebagian kalangan ulama mazhab syafi’i muntahan yang tidak berubah (masih utuh) tetap suci, misal qals (makan/ minuman yang keluar dari perut dalam keadaan utuh)
f)    Minuman keras
            Mayoritas ulama berpendapat bahwa Khamar ialah najis. Pendapatnya merujuk pada Firman Allah SWT:  “ sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengadu nasib dengan panah, adalah barang najis...” (QS.Al-Maidah (5):90)
g)        Air liur orang yang sedang tidur
            Menurut ulama Hanafiyah berpendapat najis, namun tiga mazhab lainnya mengatakan suci. Akan tetapi imam maliki dan imam syafi’i berpendapat jika air liur tersebut keluar dari lambung maka tetap najis, karena sama dengan muntah[19].

b.    Najis yang berlaku khusus untuk wanita
1)        Darah haid
            Darah haid adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan ketika dalam kondisi sehat, bukan karena penyakit maupun akibat kehamilan. Dari asma binti Abu bakar rra. Rasulullah SAW, bersabda mengenai darah haid ” engkau kikis, engkau gosok dengan air lalu siramlah, kemudian engkau boleh shalat dengan pakaian itu[20]” (mutaffaq alai) adapun mengenai bekas  najis itu masih membekas setelah di sucikan dengan air dan digosok maka tidak apa-apa.


2)   Darah Nifas
            Nifas menurut bahasa adalah melahirkan, sedang menurut istilah ialah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada saat sesudah melahirkan atau belum melebihi 15 hari setelahnya, baik melahirkan secara normal maupun prematur[21].
3)        Darah wiladah
            wiladah adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan bersamaan dengan melahirkan.

4.        Cara Mensucikan Najis
a.    Apabila najis mugaffafah: sesuatu atau benda yang terkena najis ini, cukup dipercikkan dengan air, meskipun tidak sampai mengalir
b.    Apabiala najis mugalladha: Benda yang terkena najis, baik berupa darah, kotoran atau jilatan anjing, maka mensucikannya dengan cara najis harus dihilangkan terlebih dahulu, kemudian dicuci tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan debu.
c.    Apabila najis mutawashitha: jika najis berupa kotoran, maka harus dibuang terlebih dahulu, kemudian disucikan dengan air hingga hilang warnannya, baunya, rasannya, dan tidak berbahaya, umpama warna atau sifat-sifatnya sukar dihilangkan. Atau dengan cara mengalirkan air terhadap benda yang terkena  najis sampai hilang zat najisnya dan unsur sifatnya (warna, bau, rasa)

Catatan
            Ketika mensucikan barang yang terkena najis, baik najis mugaffafah, mugalladhah atau mutawasitha, apabila airnya sedikit, maka air harus datang/ dituangkan kepada barang yang terkena najis, dan tidak boleh dan tidak suci apabila terbalik (barang yang terkena najis datang kepada air)[22]. Karena ketika air datang dan mendorong berarti ia mempunyai kekuatan untuk menghilangkan. Tetapi apabiala najis yang datang kepada air , maka tidak dapat suci bahkan airnya pun menjadi najis, karena tidak mempunyai kekuatan untuk menghilangkan najis.
Najis yang di Ma’fu
            Diantara beberapa najis, ada yang di ma’fu/ tidak diwajibkan untuk mensucikannya, seperti bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya, darah/ nanah yang sedikit (hanya satu tetes), debu yang bercampur dengan kotoran binatang tetapi yang tidak jelas bahwa itu kotoran binatang, sedikit dari darah orang lain asal tidak darah anjinh atau babi dan sebagainya[23].

B.  Hadats
1.    Pengertian hadats
            Secara bahasa  Al hadats ( الحدث ) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang baru ( الحدیث ), maksudnya sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada[24]. Sedangkan secara istilah Hadats adalah keadaan tidak suci pada seseorang yang telah baligh dan berakal sehat, timbul karena datangnya sesuatu yang ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai yang membatalkan keadaan suci. Hadats dapat juga diartikan senbagai suatu keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengn cara-cara tertentu seperti wudhu, tayamum, dan mandi wajib.

2.    Macam-macam hadas
a.    Hadats kecil
            Suatu keadaan seseorang yang tidak suci yang di sebabkan oleh sesuatu dan bersucinya bisa menggunakan dengan berwudhu atau tayamum.


b.    Hadats besar
            Keadaan seseorang yang tidak suci yang di sebabkan oleh sesuatu dan bersucinya harus dengan mandi wajib, dan tayamum  (jika tidak ada air).

3.      Hal-hal yang menyebabkan Hadats kecil
a.    Keluarnya sesuatu dari lubang kubul dan dubul
b.    Hilangnya akal karena mabuk, gila, atau tidur
c.    Bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan
d.   Menyentu kemaluan tanpa penghalang.

4.      Hal-hal yang menyebabkan hadats besar
a.    Besetubuh
b.    Keluarnya mani
c.    Meninggal dunia
d.   Haid
e.    Nifas
f.     Wiladah

  1. Larangan-larangan Orang yang berhadats
a.    Hadats kecil
1)        Sholat
2)        Thowaf
3)        Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an. Sebagian ulama ada yang membolehkan menyentuh dan membawa mushaf bagi orang yang berhadats kecil.
b.        Hadats besar 
1)        Sholat
2)        Thowaf
3)        Membaca Al-Qur’an
Dari Ibnu Umar ra. berkata : Seorang yang junub dan wanita yang haidh tidak diperbolehkan membaca Al-Qur’an. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
4)        Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an. Dari Abdullah bin Abu Bakar : bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW untuk Amar bin Hazem, terdapat keterangan bahwa tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali olrang yang suci. (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam keadaan mursal; Nasai dan Ibnu Hibban dengan maushul tapi ma’lul).
5)        Berpuasa
6)        Beri’tikaf dan dan berhenti di dalam masjid. Dari Aisyah ra. berkata : Hadapkan rumah-rumah ini ke lain masjid, sebab sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk ditempati orang yang haidh dan junub. (HR. Annasai)
7)        Berhubungan sumi istri (bersenggama). Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang bersetubuh melalui farji istri yang sedang haidh atau menggauli istri melewati jalan belakangnya atau mendatangi tukang tenung (untuk minta diramal lalu percaya) maka sungguh telah kufur/ingkar terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Perbedaan Najis dan Hadats
Najis
Hadats
Berwujud (bentuknya benda)
Hukum/ keadaan
Membersihkannya tanpa niat
Harus dengan niat
Kotoran dzahir
Kotoran bathin




BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
            Najis merupakan lawan dari thaharah yaitu segala sesuatu yang kotor dan menjijikan dalam pandangan syara’. Najis juga diartikan sebagai  suatu benda yang kotor dan menjadi penghalang kesahnya shalat. Shalat tidak akan sah jika tubuh, pakaian, atau tempat orang yang mengerjakan shalat itu terkena najis, seperti bangkai, tulang dan rambut bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang.
            Sedangkan pengertian hadats sendiri secara bahasa  Al hadats ( الحدث ) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang baru ( الحدیث ), maksudnya sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada.  Atau secara istilah Hadats adalah keadaan tidak suci pada seseorang yang telah baligh dan berakal sehat, timbul karena datangnya sesuatu yang ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai yang membatalkan keadaan suci. Hadats juga dapat diartikan senbagai suatu keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengn cara-cara tertentu seperti wudhu, tayamum, dan mandi wajib.
            Adapun mengenai perbedaan antara keduannya yaitu jika najis memiliki wujud suatu bendanya, sedangkan hadast adalah status hukum seseorang karena melakukan suatu perbuatan atau mengalami suatu kejadian. Dilihat dari cara mensuciakannya jika najis mensucikannya tidak harus denan niat sedangkan bersuci dari hadats harus disertai dengan niat. Najis  digambarkan sebagai kotoran dzahir atau tampak, sedangkan hadats berupa kotoran hati yang tidak tampak.




DAFTAR PUSTAKA


Arfan,  abbas. Fiqih Ibadah Praktis. Malang: UIN-MALIKI PRESS.
Masyhad, abu. 1408 .Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: PT MG.            Semarang.
Muhammad azzam, Abdul aziz dk. 2013. Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah.
Lajnah bahtsul masa-il, dkk. 2003. Sumber Rujukan Permasalahan Wanita: LBM PPL 2002 M.




                [1] Abbas arfan,fiqih ibadah praktis,Malang: UIN-MALIKI PRESS, hlm.11
                [2] Abu masyhad, op., cit, hlm. 16
                [3] Abdul aziz muhammad azzam dk, op., cit, hlm. 111
                [4] Abbas arfan, op., cit,  hlm.11
                [5] Abu masyhad, tuntunan shalat lengkap,semarang: PT MG. Semarang, 1408 H,  hlm. 16
                [6] Abdul aziz muhammad azzam dk, fiqih ibadah, Jakarta: Amzah, 2013, hlm. 111
                [7]Loc., cit.
                [8] Mahyuddin syaf, op., cit,  hlm. 35
                [9] Abdul aziz muhammad azzam dk, op., cit, hlm. 113
                [10] Mahyuddin syaf, op., cit,  hlm. 36
                [11] Mahyuddin syaf,  fiqih sunnah 1, Bandung: PT. Al- Ma’arif , hlm, 36
                [12] Abdul aziz muhammad azzam dk, op., cit, hlm. 113
                [13] Ibid., hlm 114
                [14] Mahyuddin syaf,  op., cit , hlm, 37
                [15] Kitab Buluqul Maram
                [16] Mahyuddin syaf, fiqih sunnah 1, Bandung: PT. Al-Ma’arif, hlm. 41

                [17] Kitab bulugul maram
                [18] Kitab bulugul maram
                [19] Abbas arfan,fiqih ibadah praktis,Malang: UIN-MALIKI PRESS, hlm.14
                [20] Bulugul mahram
                [21] Lajnah bahtsul masa-il, dkk, Sumber Rujukan Permasalahan Wanita,..: LBM PPL 2002 M, 2003,  hlm 44
                [22] Abu masyhad, tuntunan shalat lengkap,semarang: PT MG. Semarang, 1408 H,  hlm. 17
                [23] Loc., cit.

Komentar

  1. Masih banyak kesalahan yang perlu dikoreksi supaya tidak menyesatkan ummat.
    Mau tahu, cek jawabannya:
    https://youtu.be/g4dUy1Ca0l8

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENAWARAN KHUSUS

Pengertian Sosiologi Pendidikan